Kota bukan hanya sekadar tumpukan beton, aspal, dan gedung-gedung tinggi. Kota adalah ruang hidup, tempat warganya bekerja, beristirahat, berkarya, dan membangun masa depan. Menata kota berarti menata kehidupan, dan di titik inilah seorang walikota memegang peranan penting.
Setiap hari kita menyaksikan paradoks kota. Di satu sisi, ia menjadi magnet ekonomi, pusat pendidikan, dan arena kreativitas. Namun di sisi lain, ia seringkali terjebak dalam kemacetan, polusi, banjir akibat drainase buruk, dan ketimpangan sosial. Di sini terlihat jelas: menata kota bukanlah pekerjaan teknis semata, melainkan sebuah visi yang menyentuh aspek sosial, budaya, dan lingkungan.
Walikota bukan hanya administrator birokrasi. Ia adalah arsitek perubahan yang memiliki kemampuan melihat 30 tahun ke depan, bukan sekadar menambal masalah hari ini. Ia harus membuka ruang partisipasi warga kota, karena kota tidak akan hidup tanpa suara masyarakatnya. Walikota harus menjaga identitas kelokalannya, agar kota tetap punya jiwa, bukan hanya sekadar replika dari kota lain, danIa juga dituntut menghadirkan inovasi teknologi seperti: transportasi cerdas, tata kelola digital, energi terbarukan, dan kota ramah lingkungan.
Tugas utama seorang walikota adalah menata kota. Berpedoman pada visi besar Sang Aalikota, Ia juga bertanggung jawab pada tugas-tugas dasar yang langsung dirasakan masyarakat setiap hari, antara lain: Membangun dan memperbaiki jalan untuk memastikan mobilitas warga berjalan lancar, menyediakan dan merawat lampu penerangan jalan umum agar lingkungan kota aman di malam hari, menata dan memperluas trotoar sehingga pejalan kaki mendapatkan hak ruang yang aman dan nyaman, membangun dan mengelola drainase atau saluran air untuk mencegah banjir musiman serta menjaga sanitasi kota, mengembangkan ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota sekaligus tempat interaksi sosial, membangun dan memelihara infrastruktur publik lainnya seperti jembatan, halte, pasar, taman kota, hingga fasilitas olahraga. Infrastruktur dasar inilah yang sering kali menjadi tolok ukur keberhasilan kepemimpinan seorang walikota di mata masyarakat.
Tidak hanya bekerja di balik meja kantor. Seorang pemimpin kota yang baik juga harus turun langsung ke jalan - Rajin bersepeda atau berjalan kaki di kawasan kota, untuk merasakan sendiri bagaimana kondisi trotoar, jalan, dan drainase, menyapa warga di pasar, terminal, atau taman kota, untuk mendengar keluhan dan masukan secara langsung, mengunjungi gang kecil dan perkampungan, bukan hanya pusat kota, agar pembangunan terasa merata, memimpin inspeksi rutin terhadap fasilitas publik, bukan sekadar menunggu laporan di atas kertas. Dengan langkah sederhana ini, walikota bisa menemukan masalah yang mungkin luput dari laporan formal, sekaligus menunjukkan kedekatan dengan warganya.
Namun tanggung jawab menata kota tidak hanya ada di pundak walikota. Arsitek dan insinyur memiliki kewajiban moral dan profesional untuk ikut serta. Mereka tidak boleh hanya diam melihat persoalan kota yang semakin kompleks.
Arsitek dapat merancang konsep tata ruang yang lebih manusiawi, ramah lingkungan, dan selaras dengan budaya lokal.
Insinyur dapat mengembangkan sistem transportasi, drainase, energi, dan teknologi kota yang lebih efisien.
Keduanya dapat berkolaborasi dengan universitas dan komunitas untuk membuat proyek penelitian terapan yang memiliki target penyelesaian nyata atas masalah kota: banjir, kemacetan, sampah, hingga ketimpangan ruang publik.
Kota yang sehat lahir dari kolaborasi: pemerintah, akademisi, profesional, dunia usaha, masyarakat, serta media yang diharapkan mampu menghasilkan solusi-solusi permasalaan kota dan pengembangan konsep kota berkelanjutan.
Menata kota tidak bisa hanya dibebankan pada walikota atau pemerintah semata. Kita sebagai masyarakat juga sering kali ikut menyumbang masalah kota dengan sadar maupun tanpa sadar; kita membangun tanpa memperhatikan sempadan bangunan maupun sungai, hilangnya halaman tanah dan rumput, digantikan paving, rabat beton, dan aspal yang menghilangkan area resapan air hujan kemudian meningkatkan potensi banjir, ketidakmampuan kita mengolah sampah organik, sehingga menumpuk bersama plastik, kecanduan plastik sekali pakai, mulai dari bungkus permen hingga detergenm pola hidup konsumtif masyarakat kota: boros energi, belanja impulsif, kendaraan pribadi berlebihan, kurangnya kepedulian terhadap ruang bersama seperti trotoar diparkir kendaraan dipasang banner jualan yang mengganggu lintasan pejalan kaki, sungai dijadikan tempat sampah, taman kota dijadikan lahan komersil.
INILAH WAJAH KOTA KITA HARI INI, YANG BUKAN HANYA KARENA KELALAIAN PEMERINTAH, TETAPI JUGA AKIBAT SIKAP DAN PERILAKU KITA SENDIRI SEBAGAI WARGA KOTA INI.
Di tengah banyaknya penghakiman pada pemerintah dan seharusnya penghakiman pada diri kira sendiri juga sebagai warga kota, ada sedikit pihak yang benar-benar layak bicara soal sampah, organik, dan lingkungan - karena mereka sudah mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh nyata adalah Rumah Intaran milik Gede Kresna di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Selama bertahun-tahun mereka telah menerapkan dengan konsisten :
Desain ramah lingkungan & adaptasi lokal dengan menggunakan material lokal/daur ulang; memperhatikan ventilasi dan cahaya alami; menyatukan bangunan dengan alam (pohon, tanah, resapan air). Kita perlu belajar pentingnya untuk mendesain infrastruktur kota agar desain tidak hanya estetis atau modern, tapi juga adaptif terhadap iklim & tanah.
Kedaulatan pangan & pengolahan sumber daya lokal. Mereka mengolah bahan pangan lokal, membuat gula aren, kerajinan lokal, menggunakan metode alami dan bahan organik. Pada konteks kota, ini bisa diterjemahkan menjadi kebun kota, sistem kompos rumah tangga, penggunaan bahan lokal untuk bangunan & furnitur rumah dan fasilitas perkotaan.
Kolaborasi & pendidikan. Rumah Intaran melibatkan mahasiswa, warga lokal, komunitas perempuan, petani pada setiap konsep dan gerakannya. Gerakan kota bisa mengadopsi metode workshop magang dan belajar yang melibatkan warga dan komunitas.
Kesadaran terhadap dampak lingkungan kecil sehari-hari. Contoh penggunaan sabun alami, pengolahan air, ventilasi alami, mempertahankan pekarangan, membatasi area perkerasan seperti paving dan lain sebagainya. Warga kota perlu memahami dan menyadari kebutuhan terhadap sempadan, ruang hijau, plastik sekali pakai, dan lain sebagainya.
Rumah Intaran adalah bukti bahwa perubahan gaya hidup sehari-hari jauh lebih kuat dari sekadar slogan. Inilah praktik nyata yang bisa menginspirasi arsitek, insinyur, walikota, dan masyarakat kota untuk berbuat lebih baik.
Kota yang layak huni adalah kota yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga nyaman ditinggali. Transportasi publik yang terintegrasi, taman kota yang rindang, ruang budaya yang inklusif, hingga sistem pengelolaan sampah yang modern - semua itu menjadi ukuran keberhasilan sebuah kota.
Walikota yang visioner akan meninggalkan warisan bukan berupa bangunan megah semata, melainkan ekosistem kota yang sehat, berkeadilan, dan mampu memberikan ruang tumbuh bagi generasi muda masa depan kota.
Menata kota sejatinya adalah menata peradaban. Seorang walikota yang berhasil menata kotanya dengan baik akan dikenang bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi sebagai penjaga mimpi warganya. Dan kota yang tertata baik hanya bisa terwujud bila semua pihak ikut bergerak; walikota, warga kota, arsitek, insinyur, dan komunitas masyarakat lainnya.
KARENA PADA AKHIRNYA, KOTA YANG TERTATA BUKAN HANYA MILIK KITA HARI INI, MELAINKAN WARISAN BAGI ANAK CUCU KITA