PERSPEKTIF Roma, Tokyo & Waibakul "HADAPI" COVID-19

Perspektif Roma, Tokyo dan Waibakul "HADAPI" COVID-19

Informasi mengenai covid-19 adalah dinamika harian yang terus berkembang, virus dan fenomena baru bagi Indonesia dan dunia ini perlu dan harus dipelajari oleh warga dunia agar kita mampu menanganinya.

Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa yang paling berbahaya dari covid-19 ini adalah penyebarannya yang sangat cepat dan mematikan bagi mereka yang rentan (memiliki penyakit gangguan paru seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), menderita kanker atau sedang dalam kemoterapi, memiliki gangguan saraf seperti parkinson, multiple sclerosis, atau cerebral palsy, memiliki kekebalan tubuh yang lemah seperti HIV-AIDS atau limpanya sudah diangkat, diabetes, obesitas).

Saya tidak sedang mengulas bagaimana penanganan secara medis melainkan bagaimana kita sebagai masyarakat menghadapi atau saya lebih suka menyebutnya menangani covid-19 ini dengan tujuan utama memutus mata rantai penyebarannya. Masyarakat harus membantu Pemerintah dan Pasukan Medis kita menghadapi covid-19 dengan tidak memperluas peta sebaran covid-19.

Menarik mempelajari yang terjadi di Italia (jumlah kasus tertinggi di Eropa), jumlah penduduk Italia adalah 60.36 juta jiwa (2019) terpapar covid-19 (10 April 2020) yaitu 98.273 TERPAPAR, 18.849 MENINGGAL. sumber data; www.salute.gov.it. Mari kita bandingkan dengan Jepang jumlah penduduk 126.8 juta jiwa (2017) terpapar covid-19 (10 April 2020) yaitu 2059 TERPAPAR, 56 MENINGGAL. sumber data; www.mhlw.go.jp. Indonesia dengan jumlah penduduk 264 juta jiwa (2017) terpapar covid-19 (10 April 2020) 3512 TERPAPAR, 306 MENINGGAL. sumber data; www.covid19.go.id.

Saya coba mempelajari mengapa sangat signifikan perbedaan antara kedua negara maju diatas (Italia dan Jepang) kemudian membandingkannya dengan kondisi Indonesia, ternyata perbedaan kultur atau tradisi masyarakat adalah salah satu penyebab berbedanya jumlah kasus yang terjadi. Masyarakat di Italia terbiasa dengan tradisi cium pipi kanan, cium pipi kiri setiap kali bertemu bahkan oleh mereka yang tinggal dalam satu rumah misalnya antara orang tua dan anak akan melakukan tradisi cipika-cipiki saat bertemu di pagi hari (bangun tidur), saat akan keluar rumah, kembali dari luar rumah dan saat hendak pergi tidur. Tradisi tersebut berbeda dengan Jepang yang menyapa tanpa perlu ada kontak langsung, cukup dengan saling menundukan kepala memberi hormat.

Berdasarkan contoh kasus Covid-19 di Italia dan Jepang, Indonesia perlu melihat dari sudut ini (kultur atau tradisi) karena kita adalah negara kepulauan dengan kultur atau tradisi yang berbeda-beda, jika kita fokus pada pemutusan mata rantai penyebaran covid-19 di masyarakat maka selain penangan medis, yang perlu dimaksimalkan dengan segala upaya adalah sosialisasi apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari oleh masyarakat.

Jika kita menggunakan sudut pandang kultur atau tradisi tadi maka faktanya Indonesia adalah negara kepulauan dengan keberagaman tradisi atau perbedaan kultur masyarakatnya, akan menjadi masalah jika daerah-daerah dengan pola hidup, kondisi dan tradisi masyarakat yang berbeda ini menerapkan konsep yang seragam pada upaya penanganan covid-19 di Jakarta yang kota metropolitan itu. Sebagai contoh kota Waibakul - Sumba Tengah dengan sebagian besar masyarakatnya adalah masyarakat petani dan peternak maka konsep, sosialisasi dan penerapan WFH (Work From Home) tidak tetap sasaran. Petani harus tetap ke sawah dan kebun, Gembala kerbau harus tetap ke padang rumput. Perlu diingat bahwa Indonesia juga memiliki masalah pada ketersediaan cadangan kebutuhan pokok.

Upaya pemantauan dan pendataan pada pintu masuk di daerah harus tetap diperketat seperti saat ini, kemudian yang perlu ditindaklanjuti dengan langkah - langkah penanganan medis harus segera dilakukan bagi yang memerlukan, namun jika kita berkerja berdasarkan data, khususnya daerah seperti Waibakul dan pulau Sumba pada umumnya yang saat ini 0 (nol) positif terpapar covid-19 maka yang mendesak dan perlu dilakukan dengan masif baik online maupun offline dari daerah kota yang padat penduduk hingga ke kawasan perkampungan adalah sosoalisasi mengenai covid-19 ini, tidak hanya mengenai bahaya dan karakteristik dari virus ini melainkan penekanannya harus lebih tinggi pada pola penyebaran virus, membuat materi sosialisasi dengan memberi contoh-contoh kongkrit kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan tradisi setempat, jika di Roma ada cipika cipiki jika saling bertemu, di Tokyo ada saling menunduk memberi penghormatan maka di Waibakul ada cium hidung.

Setiap daerah harus membuat materi-materi sosialisasi khusus daerahnya sesuai kondisi dan tradisi masyarakat setempat dengan menjadikan materi dari Jakarta sebagai pedoman umum. Tujuan utumanya adalah masyarakat menjadi paham apa yang harus dilakukan dan dihindari saat ini, termasuk untuk sementara menghindari atau tidak melakukan tradisi cium hidung saat bertemu, dimana kita tau bersama cium hidung merupakan tradisi yang diwariskan leluhur masyarakat Sumba, inilah sebetulnya tantangan terbesar mengatasi penyebaran covid-19 di Indonesia. Sosialisasi yang masif dengan sudut pandang tradisi atau kultur kedaerahan, saya yakin akan berdampak pada hasil dari upaya memutus mata rantai penyebaran covid-19 dengan jauh lebih efektif dan optimal di Indonesia, Nusantara kepulauan ini.