I. SEJARAH PULAU MOROTAI
Masa Awal dan Kolonial: Pulau Morotai terletak di utara Maluku Utara, dan sejak abad ke-15 berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Pulau ini menjadi bagian dari jaringan perdagangan rempah Nusantara, bahkan dicatat oleh penjelajah Eropa awal seperti Antonio Pigafetta pada 1525. Pada pertengahan abad ke-16, Morotai sempat menjadi lokasi misi Jesuit Portugis, namun pos misi ini diusir oleh Kesultanan Ternate pada 1571 karena benturan dengan kekuasaan Islam lokal. Di awal abad ke-17, Kesultanan Ternate bahkan memindahkan paksa sebagian besar penduduk Morotai ke Halmahera dan Ternate untuk mengosongkan pulau demi kontrol yang lebih mudah. Pada masa kolonial Belanda, Morotai masuk dalam Keresidenan Ternate, tetapi tidak menjadi pusat administrasi penting.
Peran pada Perang Dunia II: Letak Morotai yang strategis di tepi Samudra Pasifik menjadikannya pangkalan militer vital pada Perang Dunia II. Pulau ini diduduki Jepang pada awal 1942. Kemudian, pada 15 September 1944 pasukan Sekutu di bawah Jenderal Douglas MacArthur mendarat dalam Operasi “Trade Wind” untuk merebut Morotai. Sekutu menjadikan Morotai basis militer besar dengan pembangunan dua lapangan udara, pelabuhan, rumah sakit lapangan, dan fasilitas logistik lainnya. Tercatat sekitar 36.000 hingga 61.000 personel Sekutu pernah ditempatkan di Morotai, yang sebagian besar adalah insinyur yang membangun infrastruktur perang tersebut. Pangkalan Morotai digunakan Sekutu untuk melancarkan serangan ke Filipina dan Borneo pada tahap akhir perang. Jejak sejarah ini masih terlihat melalui peninggalan seperti puing bangunan, landasan pesawat, serta kendaraan militer yang ditinggalkan. Salah satu contohnya adalah tank amfibi LVT-2 “Water Buffalo” buatan 1942 yang kini dapat dilihat di area rawa dekat Daruba. Morotai juga menjadi terkenal sebagai lokasi ditemukannya prajurit Jepang terakhir yang bersembunyi pasca perang, yaitu Teruo Nakamura. Ia bersembunyi di hutan Morotai selama ~30 tahun dan baru menyerah pada 18 Desember 1974 kepada patroli TNI AU, tidak menyadari perang telah lama usai.Pasca Kemerdekaan dan Otonomi: Setelah Proklamasi 1945, Morotai menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, ProvinsiMaluku (kemudian Maluku Utara). Pada 1958, landasan udara Morotai sempat digunakan kembali dalam operasi militer pemerintah saat menghadapi pemberontakan Permesta, meski pulau ini hanya sebentar diduduki pasukan pemberontak sebelum kembali direbut TNI.
Gambar: Tank amfibi LVT-2 peninggalan Perang Dunia II di Morotai (1942).
Selama Orde Baru, Morotai relatif terpencil dalam administrasi Halmahera Utara. Baru setelah era Reformasi muncul aspirasi pemekaran untuk percepatan pembangunan lokal. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan disahkannya Undang-Undang No. 53 Tahun 2008 yang membentuk Kabupaten Pulau Morotai sebagai daerah otonom, efektif per 29 Oktober 2008. Pemerintah kabupaten definitif mulai berjalan tahun 2009 dengan pelantikan bupati pertama. Sejak menjadi kabupaten sendiri, Morotai giat mendorong pembangunan ekonomi, khususnya di sektor perikanan, pariwisata sejarah dan bahari, serta ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Morotai untuk menggerakkan investasi. Posisi Morotai yang menghadap langsung Pasifik juga menjadikannya strategis secara geopolitik – hingga direncanakan sebagai salah satu lokasi peluncuran satelit oleh LAPAN di masa depan.
II. BUDAYA PULAU MOROTAI
Suku, Bahasa, dan Kepercayaan
Penduduk Pulau Morotai masa kini merupakan masyarakat majemuk hasil migrasi dari Halmahera. Secara historis, tidak ada suku asli yang mendiami Morotai secara permanen. Nama “Morotai” sendiri diyakini berasal dari kata morotia yang berarti “tempat tinggal orang Moro”, merujuk pada sosok legenda lokal “orang Moro” yang misterius. Kini, dua kelompok etnis utama di Morotai adalah suku Tobelo dan suku Galela yang nenek moyangnya bermigrasi dari Pulau Halmahera (Konon migrasi dipicu letusan Gunung Dukono di Halmahera). Masing-masing komunitas mempertahankan bahasa daerah mereka, yakni bahasa Tobelo dan bahasa Galela, yang termasuk rumpun non-Austronesia (Papua). Secara geografis, umumnya penduduk di wilayah selatan Morotai (termasuk Pulau Rao) berbahasa Galela, sedangkan di bagian utara lebih banyak penutur Tobelo. Bahasa Indonesia digunakan luas sebagai lingua franca antar suku. Dari sisi agama, mayoritas penduduk Morotai memeluk Islam, disusul penganut Kristen Protestan dalam jumlah signifikan. Statistik menunjukkan populasi Kabupaten Morotai sekitar 58–60% Muslim dan sekitar 39–41% Kristen, dengan minoritas kecil Katolik, Hindu, dan Buddha. Kerukunan antarumat beragama terjaga baik; misalnya, di ibukota Daruba masjid dan gereja dapat berdiri berdekatan, dan perayaan Idulfitri maupun Natal dirayakan bersama secara harmonis.
Tradisi dan Ritual Adat
Kehidupan budaya Morotai diperkaya oleh adat istiadat dari warisan Halmahera Utara. Salah satu tradisi unik adalah upacara cuci kaki sebagai bagian prosesi penyambutan tamu kehormatan dan adat pernikahan. Secara filosofis, tradisi cuci kaki melambangkan penyucian diri: air digunakan untuk membasuh kaki tamu atau pengantin wanita sebagai tanda memasuki fase atau lingkungan baru dengan hati bersih. Dalam adat pernikahan Galela, upacara cuci kaki dilakukan kepada mempelai wanita ketika ia meninggalkan rumah orang tua untuk bergabung dengan keluarga suami; prosesi ini dilakukan oleh gadis muda yang masih perawan, dipimpin oleh tetua yang membacakan mantera pada air sebelum digunakan membasuh kaki. Tradisi lain yang menarik adalah “bungkus tikar”, biasanya terjadi saat pesta rakyat atau pesta perkawinan yang diiringi tarian adat Tide-tide. Seseorang (sering tamu terhormat seperti pejabat daerah) akan dibalut dengan tikar, sebagai syarat bahwa ia diharapkan memberikan sumbangan kepada penyelenggara acara atau kepada pengantin. Ritual bungkus tikar ini merupakan cara halus komunitas untuk meminta dukungan, dan biasanya yang “dibungkus” bersedia memberikan bantuan, bahkan jika tidak saat itu, bisa disusulkan kemudian sesuai kemampuan. Tradisi-tradisi tersebut memperkuat kebersamaan sosial dan gotong royong masyarakat Morotai.
Tarian dan Kesenian Tradisional
Sebagai bagian dari budaya Maluku Utara, Morotai melestarikan berbagai kesenian tradisional. Tari Cakalele merupakan tarian perang khas Maluku Utara yang juga ditarikan di Morotai. Tarian ini dibawakan oleh penari pria dengan pakaian perang tradisional (memegang parang dan perisai salawaku), melambangkan keberanian dan jiwa kepahlawanan leluhur. Menariknya, terdapat perbedaan gaya Cakalele antara komunitas Tobelo dan Galela: penari Tobelo berputar 180° penuh saat menari, sedangkan penari Galela berputar 90°; selain itu, pengiring musik Cakalele Galela memukul tifa (gendang) dengan dua stik, sementara Tobelo dengan satu stik. Kendati ada variasi, inti tarian Cakalele sama, yaitu semangat juang dan roh kepahlawanan (bahkan nama cakalele berasal dari bahasa Ternate yang bermakna “roh yang mengamuk”). Selain tari perang, Morotai punya tari pergaulan yang disebut Tari Tide-tide. Tarian Tide-tide dibawakan berpasangan oleh pria dan wanita, berasal dari tradisi Tobelo-Galela dan biasanya ditampilkan dalam pesta adat, penyambutan tamu, atau upacara perkawinan. Gerakannya lemah gemulai penuh makna persahabatan, sehingga tide-tide kerap disebut tari pergaulan akrab. Dalam konteks pernikahan, Tide-tide juga disertai tradisi “tombong”, di mana pemuda lajang menyelipkan uang kepada gadis yang disukainya saat menari sebagai isyarat keseriusan melamar. Kesenian lain mencerminkan akulturasi budaya di Morotai. Tari Tokuwela (tari kolosal tradisional) dan Tari Dana-dana sering ditampilkan dalam festival budaya daerah. Ada pula Tari Sajojo di Desa Aru Irian yang mencerminkan pengaruh Papua, dibawakan oleh warga setempat yang dipercaya berasal dari Irian sehingga mahir menari Sajojo (meski diiringi musik tradisional Tobelo). Uniknya lagi, terdapat Tari Samra, tarian bernuansa Timur Tengah yang masuk lewat Kesultanan Ternate. Tari Samra dibawakan berkelompok pria-wanita mengenakan jubah Arab, dan biasa ditampilkan pada perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj. Tarian ini menunjukkan jejak masuknya budaya Islam (Arab) dalam tradisi lokal Morotai. Di samping tarian, permainan rakyat juga menjadi warisan budaya Morotai. Contohnya Permainan Anak Pek-pek yang menggunakan tempurung kelapa sebagai alat lomba lari estafet anak-anak. Anak-anak berlomba membawa batok kelapa dari garis start ke garis finish dengan cara unik di tiap babak (misal dijepit di kaki, atau sambil mata tertutup). Ada pula permainan tradisional Dadale (permainan tembak-tembakan kayu) sebagaimana di wilayah Maluku Utara lainnya. Dari sisi kuliner, Morotai tidak lepas dari tradisi Maluku Utara: makanan pokok sagu seperti papeda, ikan asap, hingga kue-kue seperti halua kenari dan wajik (waji) dikenal sebagai kekayaan rasa setempat. Secara keseluruhan, kebudayaan Pulau Morotai merupakan perpaduan dinamis antara warisan tradisional Halmahera Utara dan pengaruh sejarah (Eropa, Ternate, hingga pendatang luar), yang terus dilestarikan melalui festival budaya tahunan dan pembinaan komunitas lokal.
III. PENDIDIKAN DI PULAU MOROTAI
Infrastruktur dan Akses Pendidikan
Sebagai kabupaten yang terbilang muda, Pulau Morotai terus berbenah dalam sektor pendidikan. Secara administratif, Morotai kini memiliki 5 kecamatan dan puluhan desa, di mana layanan pendidikan dasar hingga menengah telah tersedia. Terdapat sekolah SD dan SMP di hampir setiap desa berpenduduk, dan beberapa SMA/SMK terpusat di kecamatan utama seperti Morotai Selatan (Daruba) dan Morotai Utara. Menurut data Dapodik, total terdapat sekitar 246 sekolah (dari TK, SD, SMP, SMA/SMK) di Morotai, dengan ratusan ruang kelas, meskipun fasilitas penunjang seperti perpustakaan dan laboratorium masih sangat terbatas. Sebagai wilayah kepulauan yang masuk kategori 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), tantangan infrastruktur cukup nyata. Keterbatasan sarana fisik (gedung sekolah, listrik, internet) dan jarak antar pemukiman membuat akses pendidikan tidak merata. Beberapa desa terpencil menghadapi kesulitan transportasi bagi siswa dan guru. Menurut pemantauan, tantangan utama pendidikan Morotai adalah masih kurangnya infrastruktur pendidikan yang memadai, ditambah minimnya program literasi berbasis komunitas yang menjangkau masyarakat pelosok. Meskipun demikian, pemerintah daerah dengan dukungan pusat terus membangun unit sekolah baru dan merenovasi fasilitas yang ada agar layanan pendidikan dasar menjangkau seluruh pulau.
Pada jenjang pendidikan tinggi, Kabupaten Pulau Morotai kini memiliki satu perguruan tinggi lokal yaitu Universitas Pasifik Morotai (UNIPAS). Kampus swasta yang berdiri tahun 2013 di kota Daruba ini merupakan universitas pertama di Morotai. UNIPAS Morotai menawarkan program studi S1 di beberapa bidang dan telah terakreditasi oleh Kemendikbudristek, memberikan kesempatan putra daerah melanjutkan kuliah di pulau sendiri. Selain UNIPAS, opsi pendidikan tinggi lainnya bagi lulusan Morotai adalah berkuliah di luar daerah (misalnya di Ternate atau Jawa). Untuk pendidikan vokasional, telah didirikan beberapa SMK dengan jurusan seperti perikanan, teknologi, dan pariwisata. Namun, kualitas SMK masih terkendala kekurangan tenaga pengajar ahli. Secara keseluruhan, akses pendidikan di Morotai sudah mencakup semua jenjang dari PAUD, SD, SMP, SMA/SMK hingga perguruan tinggi, tetapi aspek pemerataan kualitas menjadi fokus perbaikan ke depan.
Tantangan dan Kualitas Pendidikan
Kualitas pendidikan di Morotai masih menghadapi berbagai tantangan serius. Salah satu masalah utama adalah kekurangan tenaga pendidik profesional, terutama guru untuk mata pelajaran kejuruan (guru produktif) di tingkat SMK. Beberapa SMK di Morotaimemiliki jurusan yang potensial, tetapi hanya ditopang segelintir guru, bahkan ada sekolah negeri di mana satu-satunya guru PNS hanyalah kepala sekolah, sedangkan guru lainnya berstatus honorer dengan kompetensi terbatas. Kekurangan guru PNS ini berdampak pada kontinuitas dan kualitas pengajaran. Di sisi lain, kesejahteraan guru honorer juga menjadi kendala: anggaran daerah yang terbatas membuat banyak guru honorer menerima gaji sangat kecil dan sering terlambat, mengakibatkan sebagian terpaksa meninggalkan profesi untuk mencari nafkah lain. Kondisi ini diperparah dengan infrastruktur pendidikan yang belum ideal; misalnya beberapa sekolah kekurangan buku dan alat praktik, dan akses internet yang lambat menyulitkan implementasi pembelajaran digital. Dari perspektif peserta didik, motivasi melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi masih kurang optimal. Faktor ekonomi berperan besar: banyak lulusan SMA/SMK di Morotai yang memilih langsung bekerja setelah lulus demi membantu keluarga, alih-alih kuliah. Fenomena migrasi tenaga muda juga terjadi, lulusan SMK kerap merantau ke luar pulau (misalnya bekerja di sektor pertambangan di Maluku Utara atau Sulawesi) sehingga brain drain bagi Morotai cukup memprihatinkan. Akibatnya, Morotai kekurangan sumber daya manusia terampil lokal untuk menggarap potensi daerah seperti perikanan dan pariwisata. Tingkat literasi di Morotai juga masih perlu ditingkatkan. Menurut laporan RRI, rendahnya budaya baca dipicu minimnya perpustakaan desa dan kegiatan literasi di masyarakat; diperlukan kolaborasi semua pihak untuk membawa transformasi pendidikan hingga pelosok Morotai.
Upaya Pembenahan dan Dukungan
Menyadari tantangan tersebut, pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan telah menggagas sejumlah inisiatif perbaikan. Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai, misalnya, berkomitmen pada program pendidikan gratis dan peningkatan mutu guru. Di era Bupati Benny Laos (2017–2022), Pemda meluncurkan program beasiswa daerah guna mendorong pemuda Morotai menempuh pendidikan tinggi. Pada 2022, Pemkab Morotai menandatangani MoU dengan 8 perguruan tinggi se-Provinsi Maluku Utara (termasuk Universitas Khairun Ternate, IAIN Ternate, hingga Politeknik di Halmahera) untuk memberikan bantuan pendidikan bagi mahasiswa asal Morotai yang kuliah di kampus-kampus tersebut. Inisiatif ini dipuji sebagai terobosan, karena umumnya pemerintah kabupaten lain belum proaktif mendanai putra daerah di jenjang universitas. Selain beasiswa, Pemda juga bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dalam penempatan guru melalui program khusus di daerah 3T, serta mendorong lahirnya guru-guru baru dari putra daerah melalui ikatan dinas. Upaya pelatihan guru dan pendampingan kurikulum dilakukan dengan menggandeng organisasi nirlaba (misal program Kreasi bersama Save the Children) untuk meningkatkan kapasitas mengajar di sekolah-sekolah terpencil.Pemerintah pusat turut mendukung Morotai, misalnya dengan menempatkan Morotai dalam prioritas pembangunan pendidikan wilayah perbatasan. Dana alokasi khusus (DAK) pendidikan digunakan untuk membangun unit sekolah baru dan rumah tinggal guru di desa terpencil. Dinas Pendidikan Kabupaten juga berusaha memperbaiki manajemen, seperti melakukan pendataan akurat siswa putus sekolah dan lulusan (meski diakui hal ini masih sulit karena kurangnya data tracking lulusan). Dorongan untuk literasi mendapat perhatian melalui pengadaan pojok baca di kecamatan dan mobil perpustakaan keliling. Di tingkat masyarakat, muncul komunitas-komunitas belajar dan relawan literasi yang mulai aktif. Meski jalan masih panjang, perubahan positif mulai dirasakan: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Morotai terus meningkat dan mencapai 62,90 pada 2021 (kategori “sedang”), naik dibanding awal pemekaran. Dengan kombinasi upaya pemerintah, dukungan swasta, dan partisipasi masyarakat, Morotai bertekad mewujudkan layanan pendidikan yang lebih bermutu dan merata. Tantangan geografis dan keterbatasan akan terus diatasi seiring komitmen menjadikan generasi muda Morotai sebagai SDM unggul, sehingga kelak dapat mengelola “mutiara Pasifik” ini untuk kesejahteraan bersama.